Filsafat Islam[1]
(Sebuah Pengantar)
Oleh : M. Said Marsaoly[2]
“Kehidupan yang tidak pernah dirajut dengan akal, tidak akan memiliki nilai hayati”
(Socrates)
***
Prolog
MANUSIA sebagai entitas berkesadaran pada dasarnya memiliki potensi yang tidak terbatas. Ketidakterbatasan potensi tersebut sangat ditentukan oleh animo manusia untuk selalu bertanya dan mencari sesuatu yang menjadi kebutuhan intelektual terkait dengan kebutuhan teoritik maupun praktis. Reaksi tanya dan rasa ta’jub pada diri manusia adalah secuil tanda bahwa manusia memiliki potensi mengetahui yang tidak dimiliki mahluk lain. Dengan demikian tugas tebesar manusia adalah bagaimana mengaktualkan potensi tersebut dalam pentas pengetahuan manusia. Pada noktah inilah peran filsafat menjadi sesuatu yang niscaya dibutuhkan.
Bagaimana dengan term filsafat yang dinisbahkan pada Islam?. bukankah dua istilah diatas sepintas memiliki perbedaan yang signifikan? Apakah mungkin filsafat bersanding mesra dengan agama? Bukankah yang yang pertama muncul dari manusia (akal/rasio) dan yang kedua dari Tuhan (wahyu)!?. Beberapa pertanyaan diatas sedikit banyak menggelisahkan para pemerhati agama (teolog) disatu sisi dan para filosof disisi lain.
Apa itu filsafat?
SEBAGAIMANA masyhur, filsafat terdiri dari kata philo dan shophia yang berarti cinta kebijaksanaan. Dari teks-teks sejarah kita temukan istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani. Konon katanya istilah ini didengungkan oleh Sokrates gurunya Plato, seorang folosof dari Yunani kuno. Kata “filosof ”yang diumumkan oleh Sokrates menurut para sejarawan digunakan Sokrates untuk membantah para sofis yang mengaku pemilik kebenaran. Dengan istilah filosof yakni pecinta kebijaksanaan atau kebenaran Sokrates hendak mengatakan bahwa manusia bijaksana adalah mereka yang selalu mencintai kebenaran (bukan pemilik kebenaran).
Namun apakah kajian filsafat hanya sebatas pada defenisi-defenisi seperti itu? Sudah tentu kajian intens mengenai filsafat tidak terbatas pada bentuk istilah dan pengartian-pengertian singkat seperti tersebut diatas. Jalan mencapai kebijaksanaan seperti didengungkan Socrates tidak sesederhana yang kita bayangkan. Membutuhkan kerja keras dan intensitas intelektual yang juga tidak mudah. Dengan proses sungguh-sungguh dan penuh kejujuran paling tidak kita bisa mendekati kebijaksanaan (untuk tidak mengatakan tidak mungkin pencapainya).
Bagaimana dengan pemakain istilah filsafat dalam tradisi pemikiran islam?. istilah filsafat diambil oleh para pemikir muslim dari orang Yunani, mengenai hal ini Murthadha Muthahhri menulis;
Kaum muslim mengambil kata filsafat dari orang Yunani, lalu mereka memberi kata itu sighat (bentuk) Arab dan nuansa Timur, serta menggunakannya untuk mengartikan pengetahuan rasional murni. Filsfat menurut pemakaian para filosof muslim secara umum tidak merujuk pada suatu disiplin atau sains tertentu ia meliputi semua sains rasional bukan ilmu-ilmu yang diwahyukan atau diriwayatkan seperti etimologi, sintaksis, sharaf, retorikan gaya bahasa, tafsir sunnah, dan hukum. Oleh karena itu kata itu mempunya kata yang umum, maka hanya sesorang yang memahami secara penuh semua sains rasional yang pada waktu itu termasuk teologi, matematika, ilmu-ilmu kealaman, politik, etika dan ekonomi domestik, yang dapat disebut sebagai seorang filosof. Oleh karena itu menjadi seorang filosof adalah menjadi dunia pengetahuan, yang sama belaka dengan dunia objektif.[3]
EKSPLORASI filsafat oleh para filosof muslim selanjutnya mengalami perkembangan cukup signifikan. Sebagaimana akan kita jelaskan dibawa ini. Formulasi baru filsafat yang diusung oleh para filosof muslim juga pada dasarnya memiliki banyak tema (pokok) masalah yang berbeda dengan filosof Eropa/Barat. Satu hal yang perlu dijelaskan disini adalah; ketika kaum muslim berusaha mengembangkan kembali klasifikasi sains menurut Aristoteles, mereka memakai kata-kata falsafah atau hikmah. Mereka mengatakan “filsafat yaitu sains rasional, mempunyai dua bagian yakni teoritis dan praktis”.[4] Filsafat teoritis menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya, sedang filsafat praktis menjelaskan sesuatu sebagaimana mestinya/seharusnya. Lebih jauh MuhammadTaqi Mishbah Yazdi menulis;
...ilmu-ilmu teoritis meliputi ilmu-ilmu alam, matematika, dan teologi. Ilmu-ilmu alam pada giliranya meliputi kosmogoni, mineralogi, botani, dan zoologi; Matematika meliputi aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Teologi dibagi menjadi dua kelompok: metafisika atau perbincangan umum seputar wujud; dan teologi ketuhanan. Ilmu-ilmu praktis menjadi tiga cabang: moralitas, atau ahlak; ekonomi domestik, dan politik.[5]
Spesifikasi filsafat menjadi teoritik dan prakisis oleh filosof muslim memberikan pengaruh signifikan pada percaturan pemikiran khususnya pada kalangan pemikir muslim. Pada pembahasan singkat dibawah ini kita akan melihat salah-satu tema utama dalam filsafat islam terkait dengan konsep teoritik.
Ciri khas Filsafat Islam
Salah-satu tema filsafat paling klasik adalah diskursus tentang metafisika dimulai oleh Aristoteles pasalnya tema ini ditulis dalam beberapa tulisan beliau yang kemudian dibuat menjadi ensiklopedia oleh murid-muridnya. Dalam sistematika tersebut tema metafisika diletakkan setelah pembahasan tentang ilmu-ilmu kealaman. Ibnu Sina misalnya mengatakan Metafisika yang disebutkan Aristoteles lebih layak disebut dengan ilmu pro-fisika. Disebabkan tema tersebut diletakan setelah ilmu alam, mestinya diletakan sebelum ilmu alam. Karena kajian metafisika adalah sains pertama dalam ilmu filsafat. Dan Ia menjadi dasar dari seluruh ilmu-ilmu teoritik maupun praksis.
Dalam wacana filsafat Islam sebagian kalangan perpendapat bahwa metafisika tidak labih dari perbincangan mengenai hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan akal sebut saja Tuhan, Malaikat, Surga, Neraka dll. Hal ini berkembang sehingga pengkajian metafisika dalam Islam dipisahkan dari kajian-kajian filsafat. Bahkan sebagian mengklaim metafisika adalah disiplin ilmu yang terpisah dengan filsafat. Menurut Murtadha Muthahhari sebagaiamana di kutip Muhsin Labib. Isu-isu filsafat Islam dapat dibagi secara historis kronologis menjadi empat kelompok;
1. Isu-isu yang tetap seperti semula sejak digagas, tidak diubah, dikoreksi maupun disempurnakan. Sebagaian besar bagian-bagian ilmu logika tergolong kelompok pertama,
2. Isu-isu yang telah disempuranakan oleh para filosof muslim, namun penyempurnaan ini hanya untuk menguatkan isu-isu tersebut dengan argumen-argumen tambahan, seperti monoteisme, unitas wujud dan sebagainya,
3. Isu-isu yang telah berubah substansi namun tampilannya seperti semula. Ide atau yang biasa disebut dengan al-mutsul yang hingga kini identik dengan Plato. Gagasan para filosof muslim tentang “ide-ide” interval sangat berbeda dengan idealisme Platonis.
4. Isu-isu mutakhir dan baru dalam substansi maupun tampilan yang diketengahkan pada era pra Islam: Ashalah al-wujud, al-wujud al-zihni, hukum-hukum tentang ketiadaan, al-haraka al-jauhariyah, dan sebagainya.[6]
Kesempatan yang singkat ini, penulis tidak berpretensi menjabarkan secara keseluruhan tema-tema yang disebutkan diatas. Penjelasan ini kita batasi dengan perbincangan klasik pada medan filsafat. Satu hal yang paling fudamental dan terus hidup sampai saat ini adalah kajian mengenai keberadaan (Existence, Being, Ada).
Diskursus tentang keberadaan (ADA) khusunya dalam filsafat Islam telah melahirkan dua mazhab besar. Iluminasionis dan eksistensialisme. Kelompok pertama di wakili oleh Suhrawardi dan kedua Mullah Sadra. Secara singkat penulis nukilkan dua perdebatan berikut ini.
Esensi VS Eksistensi
Manakah yang lebih dulu, eksistensi ataukah esensi? Kita selalu membedakan dua pengertian yang benar tentang apa-apa yang kita bicarakan: ke-ada-an (keberadaan, eksistensi, Wujud) yang ada pada sesuatu dan ke-apa-an (esensi, Mahiyyah) yang ada pada sesuatu. Misalnya, kita mengetahui bahwa manusia ada, pohon ada, dan bilangan itu ada, namun masih-masing, meski sama-sama ada, mempunyai pengertian yang berlainan. Eksistensi (Al-Wujud, being) dalam metafisika adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “adakah sesuatu itu". Ringkasnya, keberadaan atau wujud adalah lawan dari ketiadaan (Al-Adam). Esensi (ke-apa-an, quaditas, Al-Mahiyyah) adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan "apakah sesuatu itu" yang ada dalam substansi dan aksiden.
[1] Disampaikan pada Training Pencerahan Pemikiran Islam angkatan XX. Dilaksanakan oleh Yayasan RausyanFikr Jogja. Gedung Amal Insani Yogyakarta 10-11 Mei 2008.
[2] Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penggiat di Yayasan RausyanFikr Yogyakarta, kini, pengurus HMI Cabang Yogyakarta ketua bidang Pendidikan dan pengembagan Wacana (PPW).
[3] Murthadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Mulla Sadra, Filsafat Hikmah, (Mizan Bandung 2002), hlm. 46-47.
[4] Ibid, hlm. 47.
[5] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Mizan Bandung 2003), hlm. 6
[6] Muhsin Labib, Alhuda Jurnal kajian Ilmu-Ilmu Islam. (Jakarta Volume III No 9 2003) hlm. 149. untuk lebih jelasnya, saya sarankan merujuk pada Murthadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Mulla Sadra, Filsafat Hikmah, (Mizan Bandung 2002), hlm 57-72